
oleh : Ayin Harlis (Aktivis Muslimah Bekasi)
Apa yang kita bayangkan bila seseorang menyebut pasar tradisional? Pedagang berjejalan, bau tak sedap keringat berkelindan dengan aroma busuk bahan organik. Ditambah lagi dengan pengap polusi asap dan deru mesin-mesin kendaraan yang berjibaku dengan kemacetan di jalan penghubung pasar. Orang-orang tetap ramai tawar menawar mengabaikan segala riuh jorok, bau, dan berisik karena di tempat inilah roda ekonomi kelas menengah ke bawah masih berputar.
Sebuah berita menyenangkan bila benar pasar tradisional akan bebenah. Sesuai dengan Peraturan Walikota Bekasi nomor 8 tahun 2025, pasar tradisional akan ditransformasi menjadi kawasan multifungsi. Kawasan pasar ini nantinya bukan hanya sebagai tempat berjual beli, namun akan dipadukan dengan fungsi hunian, perkantoran, hingga fasilitas umum berupa ruang pertemuan.
Wacana ini berawal dari tantangan zaman yang dihadapi oleh pasar tradisional berupa badai retail modern dan platform belanja daring. Selain itu, ide konsep kawasan pasar multifungsi ini diharapkan dapat menjawab problem keterbatasan lahan perkotaan yang dialami oleh Kota Bekasi. Namun ide ini tentunya tak luput dari catatan-catatan kritis.
Semangat memecahkan masalah perkotaan dengan konsep kawasan pasar multifungsi ini berhadapan dengan kekhawatiran masyarakat sendiri. Siapakah yang akan merealisasikan pasar multifungsi ini? Sejauh mana peran pemerintah menata pembangunannya? Memang benar Pemerintah telah mengeluarkan regulasi, namun apakah setelah itu akan sepenuhnya bertanggungjawab pada pengelolaannya?
Kekhawatiran ini muncul saat pembangunan suatu kawasan diserahkan kepada swasta, maka hanya untung rugi yang akan bicara. Merealisasikan konsep pasar multifungsi tentu tidak murah. Diawali dengan menggaet investasi tentu yang diharapkan adalah kembalinya modal ditambah dengan laba. Disinilah keresahan bermula. Apakah masyarakat kelas menengah ke bawah akan menjadi penjual, penghuni, dan pemanfaat dari kawasan ini? Jangan-jangan setelah kawasan berhasil dibangun, masyarakat kelas menengah ke bawah yang tadinya beraktifitas di lokasi pasar tradisional tersebut tidak mampu membeli/menyewa di lokasi yang telah dikembangkan dengan konsep multifungsi.
Lebih lanjut lagi, apabila harga hunian atau biaya sewa di kawasan multifungsi menjadi tinggi, maka harga komoditas yang dijual di pasar pun menjadi tinggi. Konsep yang tadinya dianggap bagus menjadi bumerang bagi masyarakat kecil. Pasar tradisional sirna berganti pasar baru yang eksklusif.
Pasar sejatinya memiliki peran penting sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Di tempat inilah terjadi pertukaran barang dan uang serta pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya pangan. Mengingat fungsinya yang sangat vital sebagai penopang pertumbuhan ekonomi, sudah semestinya negara tidak lepas tangan dalam mengelola dan mengembangkan pasar. Tanggung jawab ini tidak sepantasnya dilimpahkan kepada pihak swasta. Pemimpin negara memiliki kewajiban untuk mengurusi kebutuhan rakyatnya, sebagaimana disabdakan Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah pemelihara rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari)
Dalam sistem Islam, pembiayaan infrastruktur ditopang oleh Baitul Maal, yaitu lembaga keuangan negara yang memiliki sumber pendapatan yang tetap dan melimpah. Sumber dana Baitul Maal berasal dari tiga kategori utama: pendapatan negara, pendapatan dari kepemilikan umum, serta zakat dari kaum muslimin. Syekh Abdul Qadim Zalum menjelaskan secara mendalam tentang hal ini dalam kitabnya “Sistem Keuangan dalam Negara Khilafah”, termasuk bagaimana pembiayaan infrastruktur dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Apabila dana yang tersedia di Baitul Maal tidak mencukupi sementara pembangunan infrastruktur sangat dibutuhkan, maka negara diperbolehkan memungut pajak (dharibah) dari kalangan muslim yang mampu saja. Besaran pungutan disesuaikan dengan kebutuhan aktual. Bila pelaksanaannya memerlukan waktu yang tidak singkat, negara juga diperbolehkan meminjam dana dari negara lain, dengan syarat pinjaman tersebut tidak mengandung unsur riba dan tidak menimbulkan ketergantungan politik.
Pembangunan infrastruktur dalam sistem pemerintahan Islam dilakukan dengan perencanaan yang komprehensif, berdasarkan skala prioritas yang jelas dan mempertimbangkan aspek pemerataan wilayah. Dengan demikian, pembangunan tidak menimbulkan kontroversi atau ketimpangan. Pelaksanaannya pun harus murni ditujukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menjamin kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, dibutuhkan kepemimpinan yang mampu menerapkan seluruh aturan Allah dalam kerangka institusi Islam secara menyeluruh.
