
Para sejarawan berselisih paham dan tidak sepakat tentang kelahiran putri bungsu Rasulullah SAW, yakni Fatimah al-Zahra. Sebagian menuturkan bahwa Fatimah dilahirkan pada hari Jumat di Makkah, pada 20 Jumadil Akhir, lima tahun sebelum diutusnya sang ayah tercinta, Muhammad ibn Abdullah, menjadi Rasul. Ini pendapat yang populer di kalangan Ahlussunnah. Sementara, kalangan Syiah berpendapat bahwa ia lahir pada 20 Jumadil Akhir lima tahun setelah ayahnya diangkat menjadi utusan Allah. Ada perbedaan jarak sepuluh tahun di antara dua pendapat di atas.
Barangkali, yang berpendapat bahwa kelahiran Fatimah pada tahun kelima setelah kerasulan ayahnya, berpegang pada hadis Aisyah riwayat Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya (3:156), juga disebutkan dalam tafsir Al-Durr al-Mantsûr karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi ketika menafsirkan ayat pertama surat Al-Isra. Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Ketika aku dalam perjalanan ke langit (mi’raj), aku dimasukkan ke surga, lalu berhenti di sebuah pohon dari pohon-pohon surga. Aku melihat yang lebih indah dari pohon yang satu itu, daunnya paling putih, buahnya paling harum. Kemudian aku mendapatkan buahnya, lalu aku makan. Buah itu menjadi nuthfah di sulbiku. Setelah aku sampai di bumi, aku berhubungan dengan Khadijah, kemudian ia mengandung Fatimah. Setelah itu, setiap aku rindu aroma surga, aku mencium Fatimah.”
Hadis di atas berkenaan dengan Rasulullah SAW ketika melakukan Isra’ Mi’raj, seperti penjelasan Imam Al-Suyuthi, setelah beliau diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Tentu saja, hal itu termasuk kejadian luar biasa yang harus diimani dengan sepenuh hati. Jadi, sebelum Khadijah mengandung Fatimah, didahului oleh peristiwa hebat sang suami yang punya dampak bagi kehamilan sang istri setelahnya. Adapun pendapat yang menegaskan bahwa Fatimah lahir lima tahun sebelum kerasulan sang ayah, juga berbarengan dengan peristiwa hebat lainnya, yaitu ketika Rasulullah SAW terpilih menjadi penengah kaum Quraisy yang sama-sama mengklaim berhak untuk meletakkan hajar aswad ke tempatnya semula. Jadi, baik pendapat pertama atau kedua, kelahiran Fatimah al-Zahra tetap didahului oleh peristiwa hebat dan penting dalam perjalanan kehidupan sang ayah, Muhammad SAW.
Fatimah al-Zahra merupakan putri keempat dari Muhammad SAW dengan Khadijah. Beliau menghampiri sang istri, Khadijah dan putrinya yang baru lahir tersebut, lalu mengusap sang permata hatinya dengan penuh cinta dan rasa syukur. Beliau membelainya dengan penuh kasih dan sayang.
Sang bayi yang mungil disusukan langsung oleh ibunya, Khadijah, tidak kepada perempuan lain sebagaimana lazimnya adat ketika itu. Ia memilih sendiri untuk menyusui dan membesarkannya. Dengan demikian, Khadijah mulai membuka hal baru bagi perempuan untuk mendidik anaknya sendiri dari lahir. Sebagaimana bayi memiliki sifat seperti sifat orang yang menyusuinya, maka Fatimah al-Zahra pun mewarisi sifat-sifat mulia yang dimiliki oleh sang ibu, Khadijah.
Kelahiran putri jelita ini disambut dengan gembira oleh kedua orang tuanya. Bahkan, menurut Aisyah bint al-Syâthi, kedua orang tua Fatimah menyambutnya dengan sebuah pesta yang belum pernah disaksikan oleh penduduk Makkah sebelumnya. Sebuah kebahagiaan membuncah dari rumah penuh berkah ini ketika lahir anggota keluarga baru. Di sini terlihat bahwa Bint al-Syâthi cenderung memilih pendapat yang mengatakan bahwa Fatimah lahir sebelum kerasulan ayahnya. Bagaimana mungkin, sebuah pesta besar berlangsung sukses dan semua penduduk Makkah gembira jika hal itu dilangsungkan setelah kerasulan Muhammad SAW? Bukankah kaum Quraisy sangat memusuhi Rasulullah karena menyebarkan Islam?
Hal ini berbeda dengan kebanyakan kaum lelaki bangsa Arab pada waktu itu yang merasa marah dan resah begitu mendengar bahwa anak yang dilahirkan istrinya itu seorang perempuan. Kaum Quraisy ketika itu, menganggap bahwa kelahiran bayi perempuan telah membawa aib bagi keluarga, bahkan ada yang sampai mengubur hidup-hidup bayi perempuannya.
Allah SWT. berfirman: “Padahal, apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58-59).
Dari sejak kelahiran sang buah hati, Muhammad telah melihat pada diri putrinya tersebut ada tanda-tanda keberkahan dan kebaikan. Oleh karena itu, beliau memberinya nama Fatimah dengan gelar Al-Zahra (yang bersinar wajahnya bak bunga), karena ia adalah bunganya Muhammad SAW. Fatimah juga bergelar Al-Batul, yakni wanita yang dikhususkan untuk beribadah kepada Allah karena banyaknya kesamaan antara dirinya dengan Maryam binti Imran, tindakannya menjaga dan memelihara Nabi SAW, serta ia adalah sebaik-baik wanita penduduk surga secara mutlak. Oleh karena Fatimah dikhususkan hanya untuk beribadah kepada Allah, maka Fatimah tidak pernah haid selamanya, ketika melahirkan pun mengeluarkan darah nifasnya hanya waktu itu saja.
Dalam kitab Fatâwâ al-Zhâhiriyah di kalangan Hanafiyah, disebutkan bahwa sesungguhnya Fatimah tidak pernah mengalami haid sama sekali. Saat ia melahirkan pun langsung suci dari nifasnya sesaat setelah melahirkan agar tak terlewatkan shalat baginya, karenanya ia dijuluki al-Zahra. Fakta ini diperkuat riwayat dari Asma binti Umais (istri Ja’far ibn Abi Thalib lalu dinikahi oleh Abu Bakar dan akhirnya dinikahi Ali ibn Abi Thalib usai Abu Bakar wafat) yang bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat Fatimah mengalami haid atau nifas.” Baginda Rasul menjawab, “Tahukan kamu, bahwa putriku itu wanita suci yang disucikan. Tidak ada darah haid maupun ketika melahirkan.”
Selain bergelar Az-Zahra dan Al-Batul, Fatimah juga digelari Ummu Abiha (ibu bagi ayahnya), karena di usianya yang masih beli sepeninggal sang Ibu, Khadijah dialah yang mengurus keperluan rumah tangga sang ayah.
Fatimah menjadi nama yang spesial bagi sang ayah, Muhammad. Bahkan, nama ini memiliki kesan sosial yang sangat mendalam di hati beliau, karena dalam silsilah keluarganya, banyak didapati sanak yang bernama Fatimah, termasuk istri pamannya, Abu Thalib, yakni Fatimah binti Asad. Fatimah binti Asad adalah ibu kedua bagi Nabi Muhammad. Fatimah binti Asad diamanati oleh Aminah, ibu Nabi Muhammad SAW dan kakek nabi Muhammad, Abdul Muththalib, untuk membesarkan Muhammad. Maka, beliau tumbuh dalam didikan dan asuhan paman dan istrinya layaknya anak mereka sendiri, bahkan keduanya melebihkan Muhammad daripada anak mereka sendiri. Karenanya, tak heran jika Rasulullah SAW menyebut istri pamannya itu sebagai “Ibu kedua”, “Dia adalah ibu setelah ibuku.”
Lebih dari itu, penamaan Fatimah ini merupakan ilham. Ali pernah berkata, “Fatimah itu dinamai Fatimah karena Allah memutusnya dan melindunginya dari api neraka” (ini diriwayatkan oleh Ad-Dailami, *al fatḥm berarti memutus atau mencegah). Dialah anak yang paling mirip dengan ayahnya, dibandingkan dengan ketiga kakak perempuannya, Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum.
Sebuah pesta yang penuh kegembiraan sedang berlangsung di rumah Nabi Muhammad SAW dan sang istri tercinta, Khadijah binti Khuwailid. Kakak tertua Fatimah, Zainab, merupakan orang yang paling berbahagia menyambut kedatangan adiknya. Dia memangku sang adik dengan penuh kasih sayang, pun menciumnya hingga berurai air mata kebahagiaan. Andai saja tidak malu, dia akan menari dengan sang adik tercinta.