
Oleh : Yova Meiliza
Keberadaan pagar bambu yang membentang sejauh 30,16 kilometer di wilayah pesisir Tangerang masih menjadi perhatian. Pagar bambu yang berada di perairan Kabupaten Tangerang, Banten, tepatnya dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji, diduga dipasang tanpa izin. Awal ditemukannya pagar tersebut yaitu pada Agustus 2024 dengan panjang sekitar 7 kilometer. Dan pemasangan pagar terus berlanjut hingga panjangnya mencapai 30 kilometer dalam kurun waktu lima bulan meski telah mendapat peringatan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Belum selesai kasus pagar laut di Tangerang, fenomena pagar laut juga terdeteksi di wilayah pesisir Bekasi, yaitu di Desa Segara Jaya, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi. Keberadaannya yang mencolok berdiri di tengah laut mencuri perhatian warga dan berbagai spekulasi muncul mengenai tujuan pembangunannya. Namun berbeda dengan pagar laut yang ditemukan di perairan Kabupaten Tangerang, pagar laut di perairan Kabupaten Bekasi ini sudah dipenuhi oleh tanah hasil urukan di bagian tengahnya.
Belakangan diketahui bahwa fenomena pagar laut tidak hanya terjadi di Tangerang dan Bekasi, namun juga di daerah lain. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ada 169 kasus terkait dengan keberadaan pagar laut di berbagai wilayah Indonesia (Kompas.com). Dan menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, pagar laut yang ada di Sidoarjo lebih luas daripada yang ada di Tangerang. Jika ditotal pagar laut di Sidoarjo sebesar 656,8 hektare, sedangkan yang di Tangerang 390,8 hektare untuk SHGB dan 22,9 hektare untuk SHM. (cnnindonesia.com)
Keberadaan pagar bambu di laut tersebut jelas menimbulkan kekhawatiran bagi kehidupan nelayan setempat dan dampaknya bagi ekosistem laut. Menurut pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, jika pagar laut dibuat dari bambu, struktur tersebut bersifat sementara dan mudah rusak akibat air laut dalam jangka waktu enam bulan hingga satu tahun. “Namun, jika pagar tersebut nantinya diperkuat dengan semen sebagai penahan ombak, dampaknya akan jauh lebih besar,” ungkapnya. (Liputan6.com)
Dampak yang paling utama akan dirasakan oleh nelayan lokal yang harus melaut dengan jarak dan waktu tempuh lebih jauh. Omzet akan menurun dan biaya yang dikeluarkan untuk membeli bahan bakar akan jauh lebih besar. Selain itu, ekosistem pantai di balik pagar laut akan terganggu akibat terputusnya aliran air laut yang biasanya membawa makanan dan sedimen. Sedimen yang sebelumnya terbawa ke laut lepas akan tertahan di pagar, menyebabkan penumpukan dan pendangkalan lebih cepat di wilayah tersebut. Hal ini akan merugikan nelayan karena tempat penambatan kapal mereka menjadi dangkal dan tidak bisa digunakan lagi.
Asas Kepentingan Dalam Kapitalisme
Hingga saat ini, kisruh pagar laut tak berizin masih berlangsung dan belum ada kejelasan proses hukum. Pemerintah terlihat plin-plan dalam menjelaskan dan mengusut asal-usul proyek ini. Para pejabat yang terkait saling menuding, menyalahkan atau berdalih tidak tahu-menahu siapa yang bertanggung jawab. Seiring berjalannya waktu dan desakan dari publik, fakta-fakta baru mulai terungkap. Pemasangan pagar laut ini sarat kepentingan dan terindikasi tindakan koruptif yang menyeret sejumlah petinggi negara dan korporasi besar. Beberapa sumber berita melaporkan bahwa anak perusahaan Agung Sedayu Group memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan di area pagar laut di pesisir Tangerang. Terlihat juga transparansi pemerintah dalam menegaskan bahwa ada kepentingan tersembunyi di proyek ini semakin lemah.
Begitulah yang terjadi jika negara menganut sistem kapitalisme. Hukum dan kebijakan yang dibuat merupakan buatan manusia yang sarat kepentingan. Aturan bisa dipermainkan jika terdapat asas kepentingan, tergantung siapa yang berkuasa dan siapa yang memiliki modal. Kebijakan yang seharusnya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat, justru sering kali menjadi alat bagi pihak tertentu untuk meraup keuntungan. Keadilan bukan lagi ditentukan oleh kebenaran, melainkan oleh siapa yang lebih kuat dan memiliki pengaruh. Dan rakyat kecil yang lagi-lagi menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka.
Seperti proyek pagar laut yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Negara lebih berpihak pada korporasi besar dibanding masyarakat yang terdampak langsung. Walau bukti sudah bertebaran dan siapa yang terlibat sudah kelihatan, nyatanya pemerintah belum mengambil tindakan hukum. Baru sekedar mencabut sertifikat HGB dan SHM ysng terdaftar di area pembangunan pagar laut dan memanggil sejumlah pihak yang terlibat dalam penerbitan perizinan tersebut.
Sistem Kapitalisme membuat negara kehilangan kedaulatannya dalam mengurus rakyat. Kekuasaan yang seharusnya digunakan untuk mengatur dan melindungi rakyat, justru digadaikan demi kepentingan segelintir elite politik. Prinsip kebebasan kepemilikan dalam kapitalisme menyebabkan negara lebih tunduk pada kepentingan modal daripada kepentingan rakyat. Negara sering kali berfungsi sebagai penjaga kepentingan para kapital , bukan pelindung rakyat. Rakyat dibiarkan menghadapi kesulitan sendiri tanpa perlindungan dari yang berwenang. Alhasil, negara tidak memiliki kuasa dalam menindak para kapital yang perbuatannya menyengsarakan rakyat. Negara justru bersifat pasif dan mencari cara untuk melegalkan tindakan para korporat.
Pandangan Islam
Dalam konsep kepemilikan, Islam dan Kapitalisme berbeda. Kepemilikan dalam Kapitalisme terpusat pada individu atau korporasi yang mencari keuntungan semaksimal mungkin. Bahkan tidak dipungkiri akan melakukan berbagai cara untuk menguasai sumber daya alam yang seharusnya menjadi hak bersama.
Sementara dalam Islam, ada aturan yang mengatur kepemilikan harta dan membaginya dalam tiga, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Rasulullah Saw bersabda : “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Mengenai laut, keberadaannya adalah termasuk dalam harta kepemilikan umum dan tidak boleh dikuasai oleh individu atau negara secara mutlak. Negara harus mengelolanya untuk kemaslahatan umum dan mendistribusikannya secara adil untuk kesejahteraan rakyat agar tidak dimonopoli oleh segelintir orang.
Negara yang menerapkan syariat Islam (Khilafah) memiliki kedaulatan penuh untuk mengelola dan menjaga kepentingan rakyat. Khilafah adalah negara mandiri dan tidak akan tunduk pada manusia ataupun para kapitalis, melainkan hanya tunduk pada aturan Allah dan Rasul-Nya karena kedaulatan hanya ada di tangan hukum syarak. Khilafah akan memastikan bahwa sumber daya alam yang menjadi hak bersama dikelola untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir pihak.
Khilafah akan menerapkan sanksi tegas jika ada pihak-pihak yang berusaha memprivatisasi kepemilikan umum sebagaimana kasus pagar laut. Islam juga menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja dan haram menyentuh harta rakyat, memfasilitasi pihak lain untuk mengambil harta umum, bahkan menerima suap dengan jabatan yang disandang. Sebagaimana diriwayatkan dari Buraidah ra. bahwa Nabi saw. bersabda : “Barangsiapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji maka apa saja yang diambilnya selain dari gaji adalah harta khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud).