
Oleh: Rayhana Radhwa (Pemerhati Ibu dan Anak)
Kalau kita mendengar kata cacing tentu yang terbersit adalah tanah. Namun, kini saat kita mendengar kata cacing maka kita akan mengingat balita-balita yang dari mulut dan hidungnya keluar cacing. Kasus kecacingan memang terjadi lagi. Kali ini di Tapo Kecil, Seluma, Bengkulu, ada dua balita kakak beradik berumur 4 tahun dan belum genap 2 tahun dibawa ke Rumah Sakit RSUD Tais pada Minggu, 14 September 2025 (mediaindonesia.com, 17/09/25).
Padahal belum kering air mata ini waktu kita digegerkan kisah gadis mungil bernama Raya yang meninggal di usia 3 tahun dengan gejala yang sama. Raya dibawa ke RSUD Sekarwangi pada 13 Juli 2025 dalam keadaan koma. Raya yang bertempat tinggal di Sukabumi menghembuskan nafas terakhirnya akibat infeksi cacing gelang yang menyerang organ vitalnya. Selama perawatan, relawan menyaksikan kondisi mengenaskan: cacing hidup keluar dari hidung, mulut, anus, bahkan alat kelaminnya. Selain infeksi parah tersebut, Raya juga diduga mengalami komplikasi tuberkulosis meningitis yang kian memperburuk keadaannya.
Kehidupan keluarga Raya penuh keterbatasan. Ayahnya sakit-sakitan, ibunya diduga mengalami gangguan kejiwaan, dan Raya sendiri tidak memiliki dokumen identitas. Saat dievakuasi ke rumah sakit, penanganan medis terkendala birokrasi karena ketiadaan dokumen kependudukan dan BPJS. Relawan sudah berusaha mengurus administrasi, namun birokrasi yang berbelit membuat penanganan berjalan lamban sementara kondisi Raya terus memburuk. Rumah sakit pun membebankan biaya perawatan kepada keluarga, yang dalam sembilan hari mencapai puluhan juta rupiah dan mustahil mereka tanggung. Pada akhirnya, Raya meninggal dunia pada 22 Juli 2025.
Aspek Medis: Infeksi Cacing yang Mematikan
Dari sisi medis, kasus kakak beradik di Bengkulu dan Raya sesuai dengan askariasis berat akibat cacing gelang Ascaris lumbricoides. Siklus hidup Ascaris bermula dari telur yang masuk lewat makanan atau air tercemar. Setelah menetas di usus, larvanya bermigrasi ke paru-paru, lalu naik ke tenggorokan, tertelan lagi, dan tumbuh menjadi cacing dewasa di usus. Sanitasi yang buruk, akses air bersih terbatas, dan rendahnya kesadaran kebersihan tangan menjadi pemicu suburnya siklus tersebut. Infeksi parah dapat menimbulkan komplikasi serius, mulai dari sumbatan usus, perdarahan, malnutrisi, anemia, hingga melemahnya sistem imun.
Autopsi Sosial: Mengapa Sistem Gagal?
Kematian Raya memperlihatkan kegagalan sistem pada beberapa lapisan:
• Kemiskinan Multidimensi. Rumah balita-balita ini hanyalah bangunan sederhana di atas tanah yang tercemar kotoran manusia dan hewan. Ketiadaan jamban sehat dan air bersih menjebak anak-anak pada siklus penyakit. Pemerintah seharusnya segera menginspeksi agar tidak ada rakyat yang tidak memiliki jamban sehat dan akses air bersih.
• Kelemahan Layanan Dasar. Program kesehatan masyarakat memang ada, namun sering kali tidak menjangkau kelompok yang paling rentan, termasuk anak tanpa identitas atau keluarga dengan kondisi khusus. Ditambah lagi sistem kesehatan yang masih mengandalkan program reaktif daripada preventif.
• Masalah Administrasi. Absennya dokumen resmi dan BPJS menjadi penghalang serius. Sayangnya, birokrasi tidak memiliki mekanisme darurat yang mengutamakan penyelamatan jiwa.
• Respons yang Bergantung pada Viral. Aksi cepat baru muncul setelah kasus ini viral, sementara banyak kasus serupa tak terekspos publik dan berakhir tanpa solusi.
Cermin Kegagalan Bersama
Kematian Raya dan kasus cacingan balita di Bengkulu bukan sekadar kabar duka, tetapi menyimpan makna yang jauh lebih dalam sebagai pengingat pahit akan lemahnya akses kesehatan dan perlindungan sosial di Indonesia. Tragedi ini mencerminkan rapuhnya sistem perlindungan kesehatan anak, di mana penyakit yang tampak sederhana seperti infeksi cacing dapat merenggut nyawa ketika berpadu dengan kemiskinan, akses layanan terbatas, dan birokrasi yang lamban. Kegagalan terjadi secara berlapis, mencakup aspek medis, sosial, dan administratif yang saling terkait dan saling memperparah. Dalam konteks ini, kematian seorang anak tidak lagi dapat dianggap sebagai kasus individu, melainkan sebagai cerminan kegagalan kolektif kita dalam melindungi kelompok paling rentan di masyarakat.
Jalan keluarnya sudah jelas: perkuat pencegahan, perbaiki sanitasi, sederhanakan administrasi, serta tingkatkan deteksi dini. Bagi pemerintah dan masyarakat, ini adalah alarm keras bahwa sistem kesehatan harus lebih manusiawi dan responsif.
Sistem Kesehatan dalam Islam
Dalam sistem Khilafah, kesehatan dianggap sebagai hak dasar setiap warga negara yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara bertanggung jawab memastikan kesehatan fisik, mental, dan lingkungan melalui aparat dari tingkat pusat hingga daerah. Pelayanan kesehatan dalam sistem ini tidak hanya dilihat sebagai pemenuhan kebutuhan, tetapi juga sebagai bentuk ibadah, sehingga setiap petugas bekerja secara amanah dan penuh tanggung jawab.
Khilafah menyediakan seluruh fasilitas pengobatan dan rehabilitasi, termasuk dana dari baitulmal untuk menanggung seluruh biaya pasien tanpa memandang status sosial atau administratif. Pelayanan kesehatan bersifat menyeluruh dan tidak diskriminatif, serta mengutamakan tindakan preventif dan kuratif secara bersamaan. Negara juga melakukan pemantauan ketat terhadap kondisi sanitasi dan gizi masyarakat guna mencegah penyakit sejak dini.
Jika ditemukan kasus kecacingan, negara akan segera turun tangan melalui investigasi epidemiologis dan penyisiran lingkungan oleh ahli kesehatan masyarakat untuk mencegah penyebaran lebih luas. Pemerintah juga menjamin kebutuhan dasar keluarga, termasuk tempat tinggal yang layak, akses air bersih, serta pendidikan bagi anak-anak jika orang tua mereka tidak mampu.
Negara bertindak cepat, tanpa birokrasi berbelit, dan menjamin akuntabilitas tinggi dari para aparatnya. Dalam sistem ini, kemiskinan ekstrem dianggap sebagai kegagalan negara, sehingga setiap kasus kelalaian akan mendapat pertanggungjawaban langsung dari pejabat terkait hingga Khalifah. Dengan sistem yang tertata dan bertanggung jawab ini, kejadian tragis seperti yang menimpa Raya diyakini hampir tidak akan terjadi.
