
Oleh :
Kartini Rosmalah D.K. (Dosen Ilmu Komunikasi)
Kasus kriminalitas anak kini menjadi perhatian serius. Menurut data Direktorat Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ada tren kenaikan kasus anak terkait hukum dari periode 2020 hingga 2023. Tahun 2020 dan 2021, tercatat ada 1.700-an kasus anak dengan hukum. Tahun 2022 meningkat menjadi 1.800-an. Sedangkan tahun 2023 naik lagi menjadi 2.000 kasus. (kompas.id, 29/8/23).
Tahun 2024 juga banyak kasus yang dijumpai. Seperti Kejari Kabupaten Bekasi mencatat ada 17 anak menjalani hukuman atas tindakan pidana. Untuk anak berhadapan dengan hukum (ABH) nantinya menjalani hukuman di Lembaga Khusus Anak (LPKA). Kepala Kejari Kabupaten Bekasi, Dwi Astuti Beniyati, mengatakan dalam menyelesaikan perkara dengan pelaku anak dilakukan upaya dengan jalan diversi maupun restorative justice (RJ). Tetapi, tambahnya, jika perkaranya berat seperti begal, hingga korban luka berat atau meninggal. Dipastikan akan tetap berjalan prosesnya sampai ke putusan pengadilan dan tetap penempatannya khusus tidak bergabung dengan pelaku dewasa. (wartakota.tribunnews.com, 18/12/24)
Revisi UU SPPA Tidak Mampu Menurunkan Tingkat Kejahatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumhum) melakukan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Perubahan beleid ini untuk memperjelas aturan bagi anak yang berkonflik dengan hukum (ABH).
Menurut Direktur Jendral Hak Asasi Manusia Kemenkumhum, Dhanana Putra, revisi UU SPPA juga mengatur konsep diversi sebagai pengalihan penyelesaian perkara kasus anak, dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dhanana menambahkan restorative justice atau keadilan retoratif juga telah diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU SPPA. Pada Pasal 7 ayat (1) UU SPPA mengatur ABH pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. (tirto.id, 15/9/24)
Namun kasus kriminalitas anak dengan ancaman pidana di atas tujuh tahun penjara jurstru mengalami peningkatan. Seperti kasus pemerkosaan dan pembunuhan siswi SMP (14 tahun) di Palembang oleh 3 pelaku anak di bawah umur dengan usia 12 sampai 16 tahun. Sedangkan, dalam aturan UU SPPA, diversi tidak berlaku untuk kasus dengan ancaman di atas 7 tahun. Artinya, revisi UU SPPA tidak mampu menurunkan tingkat kejahatan anak.
Faktor Tingginya Kejahatan Anak
Upaya pemerintah dalam perubahan beleid belum juga mampu menyelesaikan kasus kejahatan anak. Lalu apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Ada empat faktor yang perlu kita cermati. Pertama, fungsi keluarga yang tidak berjalan. Keluarga sebagai madrasah ula (pendidikan awal) bagi anak mulai terkikis karena kehidupan materialistis. Pondasi keluarga yang seharusnya dibangun berdasarkan agama, kini hanya materi belaka. Orang tua yang sibuk bekerja atau berpikir materi dalam gaya hidupnya, akan menyebabkan lost generation. Inilah yang menyebabkan anak jaman sekarang telah hilang moral, akhlak, dan adab yang baik.
Kedua, sistem pendidikan sekuler. Asas sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan termasuk pendidikan akan menggerus kepribadian islam dalam diri anak didik. Tidak hanya itu, hal ini memperparah kenakalan remaja. Dampak buruknya, mereka akan melakukan sesuka hatinya dan bebas berbuat hanya demi kesenangan jasad saja.
Ketiga, informasi yang bebas. Media informasi yang mudah diakses oleh siapa dan kapan saja membuat anak-anak bisa dirasuki konten-konten negatif, termasuk konten pornografi dan tindak kejahatan. Negara yang tidak memiliki payung hukum yang jelas terhadap informasi media menyebabkan semua informasi masuk tanpa batas, termasuk akan merusak generasi.
Keempat, sistem sanksi yang lemah. Sistem sanksi seperti UU SPPA misalnya tidak bisa menjamin penyelesaian secara tuntas kejahatan hukum pada anak. Pasalnya, kebijakan ini tidak mampu membuat jera pelaku. Bahkan bisa jadi akan bisa berubah lagi sesuai dengan kondisi, sehingga tidak menutup kemungkinan akan terjadi revisi kembali jika ada fakta atau kasus yang baru.
Solusi Tuntas
Islam sejatinya memiliki sistem yang komprehensif dan paripurna jika diterapkan dalam aktifitas kehidupan. Islam mewajibkan keluarga memiliki fungsi optimal dalam mendidik anaknya yang berakidah dan berkepribadian islam. Pondasi ini akan sejalan dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah islam. Sehingga keselarasan antara keluarga dan sistem pendidikan yang dibuat oleh negara dengan basis Islam, akan menghasilkan peradaban generasi yang mulia. Ditambah lagi negara membatasi dan menyaring informasi baik dalam maupun luar negeri, agar konten yang ada bisa terfilterisasi oleh negara. Dan yang paling penting lagi adalah sistem hukum dalam Islam mampu menghasilkan efek jera kepada para pelaku untuk tidak melakukan kasus kejahatan berulang.
Selain itu, hukum Islam juga jelas dalam batasan-batasan hukum dalam pembuatan sanksi hukumnya. Misalnya batas usia anak. Negara sekuler saat ini masih berdebat masalah batas usia anak yang akhirnya diputuskan usia 18 tahun. Sedangkan di dalam Islam, batasnya bukan ditentukan oleh usia, tetapi oleh statusnya, apakah sudah tergolong mukalaf (terkena beban hukum syara baik pahala dan dosa) atau belum. Adapun syarat mukalaf yaitu akil (berakal), balig, dan mukhtar (melakukan perbuatan atas dasar pilihan sadar, bukan karena dipaksa atau berbuat di luar kuasanya).
Rasulullah saw. Bersabda, ”Telah diangkat pena bagi tiga golongan, yaitu dari orang tidur hingga dia bangun, dari anak kecil hingga dia balig, dan dari orang gila hingga dia berakal (waras).” (HR Abu Dawud nomor 4403).
Jika pada seseorang sudah terdapat satu atau lebih di antara tanda-tanda balig yang ditetapkan syariat Islam, berarti dia sudah dianggap mukalaf dan dapat dijatuhi sanksi jika melakukan perbuatan kriminal (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108; Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, 1/602).
Tanda-tanda balig yaitu salah satu dari empat tanda berikut. Pertama, ihtilam, adalah keluarnya mani dari laki-laki atau perempuan baik dalam keadaan tidur (mimpi basah atau mimpi berhubungan badan) maupun dalam keadaan sadar (misalnya onani). Kedua, tumbuhnya rambut kemaluan, baik pada laki-laki atau perempuan. Ketiga, khusus perempuan sudah haid atau melahirkan. Keempat, sudah mencapai umur balig, baik pada laki-laki atau perempuan, yaitu 15 tahun menurut pendapat jumhur ulama, dihitung menurut kalender Kamariah, bukan kalender syamsiah (Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 8/186 & 13/248; Imam Syaukani, Nailul Authar, 7/55-60, bab ‘“Alamat al-Bulugh“, kitab At-Taflis).
Dengan demikian, jika pelaku kriminal adalah orang gila atau anak di bawah umur (belum balig), dia tidak dapat dihukum. Akan tetapi, jika perbuatan kriminal yang dilakukan anak di bawah umur itu terjadi karena kelalaian walinya, misalnya wali mengetahui dan melakukan pembiaran, wali itu yang dijatuhi sanksi. Jika bukan karena kelalaian wali, wali itu tidak dapat dihukum (Abdurrahman al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 108).
Khatimah
Sejatinya Islam mampu memberikan solusi tuntas dan praktis dalam menyelesaikan persoalan kehidupan termasuk kasus kejahatan pada anak. Berbeda dengan sistem saat ini yang beraliran sekuler. Landasan sekuler yang berasal dari akal manusia menyebabkan hukum sanksi yang tidak tegas bahkan menimbulkan persoalan yang baru, sehingga tidak akan menyelesaikan persoalan hingga ke akar-akarnya. Wallahu’alam bish shawab []