
Oleh : Kartini Rosmalah
Wabah PMK (penyakit mulut dan kuku) pada hewan ternak mengancam populasi sapi potong di Kabupaten Bekasi yang dapat berpengaruh terhadap kenaikan harga daging sapi.
Peternak sapi di Cikarang, Kabupaten Bekasi Budiyono mengaku kesulitan mendapatkan pasokan setelah wabah PMK mulai merebak. Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur kini masuk zona merah lalu lintas hewan ternak, padahal kedua provinsi tersebut adalah pemasok terbesar di Indonesia.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi Dwian Wahyudiharto mengatakan adanya kenaikan kasus PMK dalam beberapa hari terakhir ini.
Berdasarkan data hingga pekan keempat Januari 2025, terdapat 86 ekor sapi yang sakit, 26 ekor sapi yang sembuh, 10 ekor sapi dipotong paksa serta tiga ekor lain mati. (Antaranews.com)
Kepala Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner pada Dinas Pertanian Kabupaten Bekasi, Dwiyan Wahyudiharto menyatakan upaya serius pemerintah untuk mengantisipasi penyebaran PMK hewan ternak melalui vaksinasi secara intensif, agar meningkatkan kekebalan hewan ternak.
Ia pun mengaku upaya pengendalian PMK hewan ternak menghadapi sejumlah kendala seperti tingkat kesadaran rendah peternak menerapkan biosekuriti dan kesulitan dalam pengawasan lalu lintas hewan ternak. (Jabarpnn.com)
Omzet pedagang bakso baik di Kabupaten Bekasi maupun wilayah lain di Jabodetabek mengalami penurunan. Hal ini akibat ramainya informasi wabah penyakit kuku dan mulut (PMK) yang menyasar hewan ternak salah satunya sapi.
Ketua Paguyuban Pedang Mi dan Bakso (Papmiso) Indonesia, Bambang Haryanto, mengatakan omzet pedagang bakso turun sekitar 20 persen. Penurunan omzet terjadi sejak awal tahun 2025 atau bersamaan dengan maraknya wabah PMK.
Ia juga menyampaikan, sejak wabah PMK, para pedagang bakso memilih untuk menggunakan daging impor sebagai bahan baku baksonya. Para pedagang bakso yang biasanya mendapatkan daging dari Jawa Tengah dan Jawa Timur kini beralih ke daging impor yang langsung dari Australia. (rri.co.id)
Pemerintah belum serius menangani wabah PMK, keran impor jadi solusi
Pemerintah mengeklaim terus berupaya mengendalikan harga daging yang tinggi di pasaran. Salah satunya adalah dengan membuka peluang besar untuk impor daging kepada swasta yang sebelumnya hanya kepada BUMN.
Pada 13 Januari 2025, Badan Pangan Nasional (Bapanas) juga telah menyosialisasikan alokasi kuota impor daging sapi sebanyak 180 ribu ton itu kepada 86 pelaku usaha.
Pemerintah memutuskan untuk mengurangi kuota impor daging sapi reguler 180 ribu ton bagi para pengusaha lokal menjadi 80 ribu ton. Kuota 100 ribu ton sisanya akan diberikan kepada BUMN sebagai neraca komoditas.
Dalam siaran pers yang dibagikan Humas Kementerian Koordinator Bidang Pangana, kebijakan ini dilaksanakan sebagai upaya pemerintah agar menjamin keseimbangan antara ketersediaan dan harga komoditas pangan strategis menjelang momen Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN).
Sedangkan penugasan kepada BUMN diambil dengan mempertimbangkan peningkatan kasus penyakit mulut dan kuku (PMK) yang dipicu musim hujan. Penugasan kepada BUMN, tulis siaran pers itu, diharapkan dapat membatasi potensi penyebaran PMK. (Tempo.co, 6/2/25)
Kendala Ternak Sapi Lokal
Faktanya bahwa penyebab terus bergejolaknya harga daging setiap tahun karena pertumbuhan sapi lokal lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan konsumsi daging sapi secara nasional. Padahal, daging sapi adalah komoditas pangan strategis yang permintaannya terus meningkat setiap tahun. Di sisi lain, meningkatnya harga daging disebabkan karena ketergantungan impor sebagai sumber pasokan utama daging segar.
Industri peternakan sapi di Indonesia masih terbilang belum pesat, padahal permintaan terhadap sapi domestik sangat besar. Kemudian meningkatnya konsumsi daging dan susu sapi setiap tahunnya. Belum lagi pemberitaan mengenai naiknya harga daging sapi di pasaran yang membuat banyak pedagang daging sapi mogok berjualan.
Adapun, kendala beternak sapi lokal juga menjadi masalah krusial, karena salah satumya pada persoalan modal dan teknologi pada sektor usaha peternakan. Sebagian besar pelaku usaha peternakan adalah peternak tradisional dengan jumlah kepemilikan sapi yang masih sangat sedikit. Ternak sapi sering dipelihara sebagai sumber tenaga kerja untuk mengolah lahan, tabungan untuk acara tertentu, dan bukan untuk sapi pedaging.
Di samping itu, banyak pelaku usaha ternak hanya mengembangkan ternak seadanya saja. Cara perawatannya juga masih tradisional sehingga pertumbuhan sapi cenderung lambat. Kondisi tersebut menyebabkan hasil peternakan tidak optimal. Keuntungan yang dihasilkan pun tidak maksimal.
Sungguh penting adanya kebijakan dalam menurunkan volume impor sapi dan daging sapi melalui peningkatan produksi daging sapi lokal. Sayangnya, kebijakan tersebut harus kalah oleh kepentingan kapitalistik.
Sistem Ekonomi Neoliberal
Tidak dipungkiri, saat ini negeri ini terjangkit sistem ekonomi neoliberal yang merusak tatanan kehidupan. Pemerintah tidak boleh ikut campur dalam mekanisme pasar, sehingga kasus swasembada ternak kini berulang tiap tahun. Negara disini hanya sebagai fasilitator saja. Dampaknya rakyat harus memenuhi kebutuhannya sendiri dalam mekanisme pasar bebas ini.
Ironis memang, pemerintah sendiripun sampai saat ini masih belum memiliki komitmen untuk melakukan swasembada daging, sehingga rakyat harus mengelolnya sendiri. Sistem penyediaan ternakpun negara tidak ada jaminan yang pasti, karena keran impor terus melebar oleh kepentingan penguasa. Lebih parahnya, jalur distribusinya belum terurus dengan baik, sehingga penyalurannya masih belum disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan Masyarakat.
Ketahanan Pangan dalam Sistem Islam
Dalam Islam, negara akan memfasilitasi pengelolaan daging sapi dari hulu hingga ke hilir karena daging sapi merupakan bagian dari ketahanan pangan nasional. Negara harus memiliki kedaulatan dalam ketahanan pangan, termasuk ternak sapi. Negara harus menjamin ketersediaan dan pengelolaan sapi ternak lokal untuk diberdayakan dalam kebutuhan nasional (dalam negeri). Sehingga tidak ada ketergantungan negara terhadap negara luar untuk impor pangan.
Negara juga harus memberikan fasilitas sarana dan prasarana kepada peternak sapi lokal agar bisa diberdayakan, baik daging & susunya. Misalnya edukasi dalam pengembangbiakan dengan teknologi modern dan pencegahan PMK jika terjadi. Selain itu, negara harus mengatur pendistribusian daging agar merata dan tidak ada permainan harga dan memberikan sanksi tegas bagi orang-orang yang curang. Dengan begitu, negara bisa menjamin swasembada daging dalam ketahanan pangan bisa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. []