
Oleh :
Ayin Harlis (Aktivis Muslimah Bekasi)
Kondisi anak-anak Gaza makin mengenaskan, satu anak tewas setiap jamnya dan dalam hampir 15 bulan sebanyak 17.492 anak dilaporkan tewas. Pekan pertama tahun 2025, Unicef melaporkan terdapat 74 anak terbunuh karena serangan Israel di Gaza. Kekejaman tantara Israel masih berlanjut bahkan di area yang mereka sebut sebagai zona aman (voi.id, 9/1/25).
Selain serangan yang bertubi-tubi, anak-anak gaza juga berjuang melalui kondisi sanitasi yang buruk, sulitnya mendapatkan air dan makanan, minimnya fasilitas kesehatan. Ditambah lagi dengan kualitas hidup yang merosot di tengah kondisi perang, 6 bayi gaza meninggal akibat kedinginan (Kompas.id, 2/1/25).
Krisis kemanusiaan yang terjadi akibat perang ini tak membukakan pemimpin negara yang berbatasan dengan Palestina. Pemerintah Mesir dan Pemerintah Yordania sebagai negara tetangga tak berkutik terhadap serangan-serangan Israel ke masyarakat sipil Palestina. Batas-batas semu teritori atas nama nasionalisme membuat umat Islam di Palestina tak lagi berukhuwah dengan umat Islam di Mesir dan Yordania.
Setali tiga uang dengan negara lainnya di Timur Tengah. Sama-sama tutup mata. Palestina pun tak bisa berharap pada negeri-negeri muslim di seluruh dunia yang lainnya dengan alasan yang membuat mereka muak, nasionalisme.
Sistem pemerintahan demokrasi kapitalis telah meletakkan kekuasaan seakan-akan menjadi capaian tertinggi jabatan individu manusia. Jadilah perebutan posisi dalam politik praktis telah menyibukkan para pemimpin muslim. Nyawa umat Islam melayang di Palestina tak lagi berharga untuk diselamatkan daripada hilangnya suara dalam pemilu.
Masing-masing pemimpin muslim telah terlenakan dengan kekuasaan yang bahkan tidak menerapkan hukum Islam kepada rakyatnya. Tentu saja otomatis mereka tak kenal kata ukhuwah dan jihad. Ukhuwah Islamiyah yang dalam sejarahnya telah menyatukan umat Islam dari benua Afrika hingga ujung Asia Tenggara. Ukhuwah Islamiyah yang meletakkan nyawa seorang muslim lebih berharga daripada dunia dan seisinya. Jihad tak lagi menjadi gelora tantara muslim meraih kemuliaan akhirat. Jihad tak lagi menjadi pembela umat yang teraniaya. Jihad kini tertinggal dalam kitab-kitab kajian agama tanpa realisasi nyata.
Satu-satunya negara yang akan mengejawantahkan syariat Islam dalam realita adalah negara Khilafah. Negara Islam ini akan meletakkan jihad sebagai mahkota politik luar negeri. Sekali Khalifah berkata berangkat, maka moncong senjata pasukan akan tertuju pada Israel. Khilafah akan menjadi lawan yang seimbang bagi Israel dan para penyokongnya, terutama Amerika sebagai punggawa ideologi kapitalisme saat ini.
Khilafah akan menghapus sekat semu bernama nasionalisme dan berganti dengan ukhuwah Islamiyah yang mengeratkan persatuan umat Islam sedunia. Khilfah akan menjadi junnah, perisai bagi setiap jengkal tanah kaum muslimin yang terjajah, menjadi penyelamat bagi jiwa-jiwa yang teraniaya.
Kondisi umat Islam yang jauh dari kata ideal meniscayakan keberadaan kelompok dakwah yang akan memimpin perubahan dengan kesadaran hakiki. Kelompok dakwah yang tulus menginginkan penerapan syariat Islam harus berlandaskan pada Aqidah Islam. Landasan ini akan membangun pemikiran dan pemahaman utuh atas Islam sebagai millah, pandangan hidup yang membawa umat pada kemuliaan dunia dan akhirat.
Kelompok dakwah Islam penting untuk membina umat atas kesempurnaan Islam, mengenalkan Islam yang utuh di tengah-tengah masyarakat, dan mendorong penguasa menjadikan Islam sebagai panduan negara. Dengan begitu kebangkitan Islam tegak, Khilafah terbentuk dan Palestina hanya tunggu waktu untuk dimenangkan. Anak-anak Gaza tak akan lagi merana berganti senyum menyambut Cahaya.