
oleh : Dewinda Pratiwi (Aktivis Muslimah Bekasi)
Dalam era modern ini, semakin banyak generasi muda, terutama mahasiswa, yang terjebak dalam fenomena Duck Syndrome — sebuah kondisi di mana seseorang tampak tenang dan sempurna di permukaan, tetapi sebenarnya sedang “berenang panik” di bawah air demi memenuhi ekspektasi dan tekanan kehidupan. Istilah ini diambil dari perilaku seekor bebek yang tampak mengapung tenang di atas air, namun kakinya bekerja keras di bawah permukaan agar tetap bergerak.
Fenomena ini tidak lagi terbatas di lingkungan kampus. Kini, kelas menengah Indonesia pun mengalami gejala serupa, terjebak dalam gaya hidup yang menuntut kesempurnaan penampilan, pencapaian, dan status sosial. Di balik unggahan media sosial yang terlihat bahagia dan mapan, banyak yang sebenarnya sedang berjuang menghadapi stres, tekanan ekonomi, dan krisis identitas.
Fakta Kesehatan Mental & Depresi Mahasiswa di Indonesia
Survei terkini menunjukkan bahwa 22,4% dari mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Indonesia mengalami gejala depresi. Dari mereka, 3,3% mengaku lebih baik mengakhiri hidup atau melukai diri. Tingkat depresi ringan hingga berat ada dalam berbagai kategori: ringan, sedang, berat. Penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara menemukan bahwa dari 238 mahasiswa angkatan pertama, sekitar 28,2% mengalami depresi (ringan sampai sedang, parah). Studi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana tahun 2019 menunjukkan bahwa 23,8% mahasiswa yang sedang menyusun skripsi mengalami depresi.
Banyak mahasiswa di Indonesia yang secara nyata menunjukkan gejala stres, depresi, masalah tidur, dan ide bunuh diri, meskipun di luar mereka kelihatan aktif dan “berhasil”. Banyak faktor eksternal yang mendukung kondisi ini, yaitu diantaranya tekanan akademik, tuntutan organisasi, kecanduan media sosial / eksposur berlebihan, biaya hidup yang tinggi, ekspektasi dari masyarakat/keluarga.
Kondisi kelas menengah memperlihatkan bahwa meskipun memiliki akses ke sumber daya materi, tekanan untuk mempertahankan citra dan standar menjadi beban tersendiri.
Akar Masalah: Kapitalisme dan Sekulerisme
Duck Syndrome tidak muncul tanpa sebab. Beberapa faktor pemicunya antara lain, yaitu tekanan eksternal: Tuntutan keluarga, lingkungan, hingga media sosial. Ekspektasi tinggi, baik dari diri sendiri maupun orang lain, yang seringkali tidak realistis.
Gaya hidup konsumtif juga Keinginan untuk selalu tampil sempurna dan terlihat sukses secara materi.
Semua ini berpangkal pada sistem kapitalisme, yang menjadikan materi sebagai tolak ukur kesuksesan hidup. Dalam sistem ini, kebahagiaan diukur dari seberapa banyak yang dimiliki — rumah mewah, kendaraan mahal, pakaian bermerek, gaya hidup hedonis. Akibatnya, individu berlomba-lomba mengejar standar “sempurna” yang semu, meski harus mengorbankan kesehatan mental, waktu, dan bahkan harga diri.
Sekulerisme—yang memisahkan agama dari kehidupan—membuat banyak orang merasa harus menyelesaikan semua beban hidup sendirian. Ketika hidup hanya berporos pada pencapaian materi, dan tidak ada sandaran spiritual, maka kelelahan mental menjadi tak terelakkan. Tidak heran jika tingkat depresi, kecemasan, bahkan kasus bunuh diri meningkat di kalangan anak muda.
Solusi Islam: Hidup dengan Standar Ilahiyah
Islam menawarkan solusi mendasar terhadap krisis identitas dan tekanan hidup ini. Dalam Islam, standar kebahagiaan dan kesuksesan tidak diukur dari materi, melainkan dari ketaatan kepada Allah Swt. Hidup bukan tentang terlihat sempurna di mata manusia, melainkan tentang bagaimana menjalani kehidupan sesuai hukum syariat untuk meraih ridho-Nya.
Sistem Islam menempatkan aqidah sebagai fondasi kehidupan. Setiap individu dididik untuk menjadikan takwa dan amal shalih sebagai tujuan utama, bukan pencitraan. Bahkan, dalam naungan Khilafah Islam, negara memiliki peran aktif menjaga ketakwaan warganya melalui pendidikan berbasis aqidah Islam, bukan sekadar kurikulum penghasil tenaga kerja.
Media yang membangun kepribadian Islam, bukan merusak mental dan menebar standar palsu.
Aturan sosial dan ekonomi yang adil, yang mencegah eksploitasi dan kesenjangan.
Pergaulan yang sehat dan penuh tanggung jawab, tidak membebani individu dengan standar kosong.
Hidup Nyata, Bukan Pura-Pura. Duck Syndrome sejatinya adalah panggilan sadar bagi masyarakat hari ini bahwa sistem yang kita anut telah menciptakan generasi yang lelah, tertekan, dan kehilangan arah. Selama standar hidup diukur dari apa yang tampak, bukan dari makna sejati, maka generasi akan terus hidup dalam kepalsuan.
Islam datang bukan hanya sebagai agama ritual, tapi sebagai rahmat bagi seluruh alam, menawarkan panduan hidup yang realistis, menenangkan, dan menjamin kebahagiaan hakiki — di dunia dan akhirat.
