
Oleh : Kartini Rosmalah D.K. (Dosen Ilmu Komunikasi, Unisma Bekasi)
Akhir Agustus lalu, Indonesia mencekam. Kemarahan rakyat tak terbendung. Aksi demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai daerah. Salah satu tuntutannya berawal dari kenaikan tunjangan DPR yang tidak masuk akal. Pusat ibu kota menjadi titik sentral aksi ini yang dimulai dari tanggal 25 hingga 29 Agustus di depang gedung DPR/MPR.
Berdasarkan catatan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) pada periode tanggal 25-31 Agustus terdapat korban aksi demonstrasi di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 10 orang meninggal dunia, 1.042 luka-luka, 3.337 ditangkap. (databoks.katadata.co.id, 3/9/25)
Dilansir dari kompas.com (8/9/25) Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyatakan ada 228 aksi demonstrasi yang terjadi dari tanggal 25 Agustus-7 September 2025 di seluruh Indonesia.
Adapun tuntutan aksi mereka hingga lahirnya tuntutan 17+8, yang diantaranya adalah :
- Tarik TNI dari pengamanan sipil dan pastikan tidak ada kriminalisasi demonstran.
- Bentuk Tim Investigasi Independen kasus Affan Kurniawan, Umar Amarudin, maupun semua korban kekerasan aparat selama demonstrasi 28-30 Agustus
- Publikasikan transparansi anggaran (gaji, tunjangan, rumah, fasilitas DPR).
- Pecat atau jatuhkan sanksi tegas kepada kader DPR yang tidak etis dan memicu kemarahan publik.
- Bebaskan seluruh demonstran yang ditahan.
- Hentikan tindakan kekerasan polisi dan taati SOP pengendalian massa yang sudah tersedia.
- Tangkap dan proses hukum secara transparan anggota dan komandan yang melakukan dan memerintahkan tindakan kekerasan dan melanggar HAM.
- Ambil langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi buruh kontrak
- Pastikan upah layak untuk seluruh angkatan kerja (termasuk namun tidak terbatas pada guru, buruh, nakes, dan mitra ojol) di seluruh Indonesia.
- Ambil langkah darurat untuk mencegah PHK massal dan lindungi buruh kontrak.
Kekecewaan Rakyat
Menurut cendekiawan muslim Ustaz Ismail Yusanto (UIY) mengungkapkan, aksi demonstrasi ini sebenarnya menunjukkan sebagai ekspresi dari puncak kekesalan rakyat terhadap kinerja DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang tidak berpihak kepada rakyat.
Ketika rakyat menderita akibat ekonomi turun, meningkatnya pengangguran, lalu pajak pun naik, maka semestinya DPR itu berada di sisi rakyat atau di sisi yang diwakilinya. Nah, menurut UIY ini tidak dirasakan sama sekali.
Justru, sebaliknya, para dewan bersenang-senang dengan apa yang mereka terima. Sehingga wajar jika akhirnya rakyat kecewa dengan ulah tingkah dewan. Apalagi, menurut UIY, harus dipertanyakan kebijakan-kebijakan yang dibuat apakah berpihak pada rakyat atau tidak. Seperti mereka membuat Omnibus Law, putusan undang-undang tentang IKN yang melegalkan pembangunan ibu kota baru yang sama sekali tidak ada urgensinya sama sekali bahkan memakan biaya hingga ratusan triliun rupiah.
Kemudian mereka malah diam saja dengan proyek-proyek kereta cepat yang sekarang menambah beban biaya puluhan miliar bahkan disebut-sebut sampai triliunan rupiah. Di sisi lain juga ada kriminalisasi terhadap para ulama, pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia), termasuk lemahnya fungsi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akibat ada andilnya DPR.
Secara teori, menurut UIY, wakil rakyat berfungsi dalam membuat hukum, melakukan koreksi (check and balances), dan membuat anggaran (budgeting). Rakyat melihat bahwa dalam keputusan penganggaran sangat banyak keputusan yang menguntungkan DPR dan sangat merugikan rakyat. Belum lagi, jual beli di balik itu semua, termasuk terciptanya Undang-Undang Minerba, Undang-Undang IKN (Ibu Kota Negara), sampai keputusan APBN di mana pajak ditetapkan sekian persen.
DPR dan Majelis Umat
Secara mendasar sistem demokrasi sangat berbeda dengan sistem Islam yang memiliki Majelis Umat. Majelis Umat bukan legislatif yang tidak membuat hukum, karena hukum berasal dari syariah Allah yaitu Al-Qur’an & As-sunnah. Fungsi utamanya yaitu memberi syura (nasihat) kepada khalifah. Kemudian menyampaikan muhasabah (kritik/koreksi) terhadap kebijakan penguasa dan menjadi wakil umat untuk menyuarakan pendapat, keluhan, dan kebutuhan rakyat.
Sedangkan basis kekuasaan Majelis Umat adalah kedaulatan di tangan syariat Allah, bukan rakyat. Dari sisi kewenangannya pun terbatas, yaitu nasihat dan kritik, karena tidak bisa membuat hukum sendiri.
Dari segi upah (ujroh) untuk Majelis Umat, jika butuh untuk menjalankan peran (misalnya biaya perjalanan, akomodasi), bisa diberi ujroh (imbalan) secukupnya dari Baitul Mal. Tidak ada gaji besar dan fasilitas mewah seperti DPR, sebab kedudukan mereka bukan profesi, tetapi amanah dan pengabdian kepada rakyat.
Jadi, secara prinsip sangat jelas berbeda dalam sistem Islam bahwa Majelis Umat Adalah penasihat dan pengoreksi penguasa, tidak membuat hukum, tidak berorientasi materi, dan hanya diberi biaya jika perlu. Sementara, DPR dalam sistem demokrasi adalah lembaga pembuat hukum, hidup dari pajak rakyat dengan gaji besar.
Sistem Islam
Dalam sistem Islam, kedudukan Majelis Umat hanya mempunyai fungsi koreksi atau muhasabah kepada penguasa. Ini sangat fundamental dan penting yang pada dasarnya adalah ukurannya amar makruf nahi mungkar.
Ketika menyampaikan amar makruf nahi mungkar, Majelis Umat ukurannya sesuai dengan ketentuan hukum syarak. Sedangkan DPR tidak jelas ukurannya. Bahkan yang ada istilah berpihak pada rakyat atau tidak, sebenarnya ditentukan bukan oleh wakil rakyat, tetapi oleh aturan hukumnya.
Menjadi persoalan publik, realitas mengatakan antara teori wakil rakyat yang dipilih untuk menguntungkan rakyat seperti jauh panggang dari api. Mustahil ini terjadi. Ini sudah terbukti bahwa semua bisa ditransaksikan, undang-undang bisa dibuatkan, bisa diubah tergantung wani piro.
Berbeda dengan sistem Islam, ketentuan itu berdasarkan syariat. Halal dan haram adalah hukum syarak dan tidak bisa dijadikan objek transaksi.
Disitulah letak perbedaannya yang tidak akan mungkin mengubah undang-undang ketika ketentuan syariatnya sudah jelas. Sepenjang hukum syarak diterapkan, pasti adil dan pasti juga untuk kepentingan manusia. Sehingga masuk dalam terminologi yuridis yaitu hukum. Dalam hukum ada dua sumber. Pertama, dibuat oleh wakil-wakil rakyat. Kedua, dibuat oleh Zat Yang Mengetahui cara mengatur dengan sebaik-baiknya agar keadilan itu bisa terwujud. Zat itu adalah Allah Swt.
Paripurna lagi, ternyata sistem Islam pada praktiknya, ketentuan hukumnya masuk dalam terminologi matematis, misalnya dalam pengaturan pembagian waris sampai ke persennya. Sehingga wajar hukum Islam mampu diterima secara logis oleh siapapun tanpa pertentangan dan dipertanyakan.
Allah SWT berfirman : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al A’raf [7] ayat 96)
Wallahu’alam bish shawab []
