
Pertanyaan dalam judul di atas sangat menggelitik dan membuat saya bercermin untuk menjawab pertanyaan itu. Siap nggak ya saya menjadi orang tua ? Hmmm…antara siap dan nggak siap… jawaban yang aneh. Kembali teringat waktu sebelum menikah, nggak ada dalam pikiran saya untuk belajar atau menuntut ilmu mengenai bagaimana cara menjadi orang tua. Everything learning by doing.. itulah yang selama ini saya lakukan. Padahal dengan prinsip learning by doing itu tentunya akan banyak biaya kebodohan yang kita harus keluarkan. Apa maksudnya biaya kebodohan ? yaitu kerugian yang timbul akibat tidak mempunyai ilmu yang mumpuni sebelum melakukan suatu hal yang kita inginkan. Misalnya ketika kita mau membuka usaha sebuah bisnis tetapi belum paham dan belum mempelajari bisnis tersebut kemudian ternyata dalam perjalanan kita mengalami banyak kerugian, ditipu orang, salah proses dll yang membuat kita akhirnya rugi. Kerugian itulah biaya kebodohan yang harus kita tanggung. Selain kerugian berupa materi kita juga mengalami kerugian waktu dan tenaga. Nah, oleh karenanya teman-teman sebaiknya punya ilmu dulu sebelum melakukan sesuatu , coba teman-teman baca lagi artikel saya yang judulnya :
Nah, sekarang kita kaitkan dengan kesiapan menjadi orang tua. Siap nggak siap harus siap, dan untuk siap kita harus belajar dulu. Entah dengan membaca literatur, melihat kasus orang lain, menonton film ataupun mengamati kehidupan keluarga di sekeliling kita baik di lingkungan kerja maupun tempat tinggal. Yuk, mari kita amati kira-kira apa saja yang harus dipersiapkan sebelum menjadi orang tua
KEMAMPUAN MENDIDIK ANAK
Mendidik itu tidak sulit, sepanjang kita bisa memberikan contoh berarti kita sudah bisa menjadi pendidik. Minimal itu dulu yang harus kita pahami. Kita harus mempunyai kemampuan mendidik anak artinya kita sebagai pendidik yang bisa memberikan contoh atas didikan yang akan kita terapkan pada anak kita. Kalau dalam Bahasa Jawa pendidik itu disebut guru yang artinya bisa digugu lan ditiru. Artinya bisa dipercaya dan dicontoh. Nah, gampang kan untuk menjadi pendidik ?
Ini adalah beberapa landasan yang bisa kita jadikan referensi kenapa kira harus mampu mendidik anak:
1. Imam al-Ghazali mengatakan, “Anak adalah amanat di tangan kedua orangtuanya. Hatinya yang suci adalah mutiara yang masih mentah, belum dipahat maupun dibentuk. Mutiara ini dapat dipahat dalam bentuk apa pun, mudah condong kepada segala sesuatu. Apabila dibiasakan dan diajari dengan kebaikan, maka dia akan tumbuh dalam kebaikan itu”.
Bila kita mampu mendidik anak maka kita sebagai orangtuanya akan ikut bahagia di dunia dan di akhirat. Namun apabila dibiasakan dengan keburukan dan dilalaikan pasti si anak akan celaka dan binasa. Dosanya akan melilit leher orang yang seharusnya bertanggung jawab atasnya dan menjadi walinya.
2. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَولُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطرَةِ، وَإِنَّمَا أَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَو يُنَصِّرَانِهِ أَو يُمَجِّسَانِهِ
” Setiap anak dilahirkan di atas fitrahnya. Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi atau Nasrani “.
Maksud dari sabda tersebut bahwa seorang anak tumbuh dewasa sesuai dengan agama kedua orangtuanya. Mereka berdualah yang memberi pengaruh sangat besar dalam kehidupan si anak.
3. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kedua orangtua untuk mendidik anak-anak mereka dan memberikan tanggung jawab ini kepada mereka berdua dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللّٰهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan ”
( Q.s. at-Tahrīm [66]: 6 ).
Oleh karena itu, perlu ada usaha dan kerja keras secara terus-menerus dalam mendidik anak, memperbaiki kesalahan mereka dan membiasakan mereka mengerjakan kebaikan. Inilah jalan para nabi dan rasul; Nabi Nuh ‘alayhissalām mengajak putranya untuk beriman, Nabi Ibrahim ‘alayhissalām mewasiatkan anak-anaknya untuk beribadah kepada Allah semata, dan demikian seterusnya.
4. Imam an-Nawawi dalam kitab Bustānul ‘Ārifīn menyebutkan dari asy- Syāfi’i dari Fudhail mengatakan: Nabi Dawūd ‘alayhissalām berdoa, “Wahai Tuhanku, perlakukanlah putraku seperti Engkau memperlakukanku.” Maka Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā mewahyukan kepadanya, “Wahai Dāwud, kalau kepada putramu agar memperlakukan-Ku sama seperti engkau memperlakukan-Ku, niscaya Aku akan memperlakukannya sama seperti Aku memperlakukanmu.”
5. Ibnul Qayyim raḥimahullāh menekankan tentang tanggung jawab ini, dan beliau melontarkan perkataan yang sangat berbobot. Beliau katakan, “Sebagian ulama mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā bertanya kepada orangtua tentang anaknya di hari kiamat sebelum bertanya kepada anaknya tentang orangtuanya. Sebab, sebagaimana orangtua memiliki hak atas anaknya, maka demikian pula sang anak memiliki hak atas orang- tuanya,” sebagaimana firman Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā:
وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا (العنكبوت: ۸)
“ Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya ”
( Q.s. al-’Ankabūt [29]: 8 ).
Dari dasar-dasar itulah sebagai umat muslim sudah selayaknya kita sebagai calon orang tua bisa mempersiapkan diri agar mampu mendidik anak-anak kita dan mengajarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah, menanamkan nilai-nilai cinta dan kejujuran, ketulusan dan cinta ilmu pengetahuan. Yuk mari bersama-sama kita senantiasa belajar dan menyemangati agar bisa menjadi orang tua yang bisa mendidik anak-anak kita dan mempertanggungjawabkan Amanah yang Allah berikan kepada kita. Aamiin. Wallahu ‘alam bishawab.